Bagaimana Membangun Kepercayaan Diri Menulis
Bagaimana Membangun Kepercayaan Diri Menulis
Oleh Hernowo
Saya baru saja merampungkan sebuah buku yang dianggap kontroversial. Buku itu ditulis oleh seorang keturunan China yang dibesarkan di Amerika. Nama penulis itu Amy Chua dan bukunya berjudul Battle Hymn of the Tiger Mother.
Ada dua pernyataan Amy Chua di buku tersebut yang langsung saya ikat maknanya dan segera juga saya buatkan posternya agar dapat saya tempel di dinding rumah saya dan dapat dibaca oleh keluarga saya, terutama anak-anak saya. Dua pernyataan Amy ini merupakan senjata untuk membangun rasa percaya diri.
”Orangtua China paham betul bahwa tidak ada yang menyenangkan sampai kita bisa menguasainya dengan baik.”
dan
”Tak ada yang lebih baik untuk membangun rasa percaya diri kecuali belajar mengetahui bahwa kita mampu melakukan suatu hal yang tadinya kita kira berada jauh di luar kemampuan kita.”
Kata-kata Amy yang pertama saya peroleh ketika Amy bercerita tentang pengalamannya mencari guru les piano untuk putri pertamanya, Sophia. Tiga guru piano pertama Sophia, menurut Amy, tidak cocok untuk Sophia. Amy melukiskan tiga guru pertama itu secara detail dan cermat. Akhirnya, Amy menemukan satu guru yang cocok dengan Sophia yang menggunakan metode Suzuki dalam mengajarkan bermain piano untuk musik klasik.
Kata-kata Amy kedua saya temukan di bab yang sangat menarik. Bab itu bercerita tentang putri keduanya, Lulu, yang merasa kesulitan memainkan sebuah komposisi piano berjudul ”The Little White Donkey”. Lulu hampir menyerah dan berhenti berlatih memainkannya. Namun berkat ”gertakan” ibunya, ajaib, tiba-tiba Lulu dapat memainkan komposisi itu dengan sempurna hingga Lulu pun menyukainya.
Dua pernyataan Amy itu, menurut saya, sangat berkaitan. Prestasi atau penguasaan akan suatu keterampilan tertentu perlu ditempuh dengan cara yang berdarah-darah alias tidak mudah. Jika suatu pencapaian ditempuh dengan mudah, biasanya pencapaian itu tidak mampu memunculkan rasa percaya diri yang sangat tinggi. Keberhasilan menaklukkan tantangan yang sangat sulit akan membawa seseorang untuk yakin akan kemampuan-hebat dirinya.
Saya merasakan itu ketika dahulu sama sekali tidak suka atau malah membenci kegiatan menulis. Saya merasa frustrasi karena betapa sulitnya dapat memiliki keterampilan menulis yang membuat diri saya percaya diri. Berkali-kali artikel yang saya kirim ke media massa ditolak. Lantas, banyak sekali tulisan yang berhenti di tengah jalan alias tidak bisa saya selesaikan. Sekadar menghasilkan tulisan sih bisa, tetapi menghasilkan tulisan yang tidak membosankan diri saya adalah sesuatu yang saya rasakan sangat sulit.
Akhirnya, setelah keadaan tak mengenakkan itu berlangsung hingga usia saya mencapai 40 tahun, saya berhasil menemukan cara menulis yang cocok dengan diri saya. Cara menulis yang cocok dengan diri saya, yang saya temukan itu, ternyata tidak berasal dari seorang guru menulis yang berlatar belakang bahasa. Guru menulis yang mengajari saya menulis yang akhirnya cocok dengan diri saya itu adalah seorang psikolog peneliti. Namanya Dr. James W. Pennebaker.
Metode menulis yang diajarkan kepada saya pun metode yang tidak biasa. Metode menulis itu bernama: ”opening up” (membuka diri alias blak-blakan). Saya merasakan kelegaan luar biasa ketika menggunakan metode tersebut. Saya pun terus berlatih dan menantang diri saya untuk menguasai metode itu. Ujung-ujungnya, saya keranjingan menulis. Setiap selesai membaca teks—baik teks itu dari sebuah buku atau media yang lain—saya pun menuliskan secara bebas apa saja yang saya pahami dari buku itu.
Juga setiap kali menonton film di bioskop, televisi, atau mendengarkan musik, dan sebagainya, saya pasti berhenti sebentar merenungkan semuanya dan, akhirnya, renungan-renungan saya itu saya tumpahkan secara sangat bebas ke lembaran-lembaran kertas atau layar komputer. Saya ingin mengeluarkan diri saya yang berubah gara-gara ”kemasukan” bahan yang berasal dari film, musik, dan sebagainya.
Saya pun merasakan—setelah berlatih bertahun-tahun—bahwa saya telah menguasai metode menulis ”opening up”. Apa tolok ukur bahwa saya menguasai metode tersebut? Tolok ukurnya tentu bukan berupa angka-angka tetapi saya merasa senang, nyaman, dan berdaya. Itu masih ditambah dengan kehadiran gairah dan semangat saya untuk senantiasa membaca dan mengungkapkan (menuliskan) hasil bacaan saya—setiap hari!
Lalu, tak berhenti hanya pada metode yang diajarkan oleh Pennebaker, saya pun menambah (memperluas)-nya dengan belajar kepada Natalie Goldberg, Peter Elbow, dan Gabriele Lusser Rico. Merasa tak cukup dengan tambahan itu, saya menambahkan lagi dengan teori otak kanan dan kirinya Roger Sperry dan metode ”mind mapping”-nya Tony Buzan. Paduan semuanya itu, menghasilkan metode menulis yang mendekati sempurna yang sangat cocok dengan diri saya.
Akhirnya, semua itu membuat saya sangat percaya diri dalam menulis
[Sumber: http://www.mizan.com]
wah...jeng ely dah banyak aj tulisannya...ayo lanjutkan trus bu...biarpun nyambi2 nemenin si dede....
BalasHapusIni Arfi tanah 38 ly...silahkan berkunjung jg k blog ku ya...hehe masi blajar blogging nih...mohon bimbingannya...
he2...ely jg lg belajar...semangad bu..ayo belajar...
BalasHapus